Katakanlah saya generasi ke-2 Kompas-Gramedia. Yang langsung menerima pengajaran dan nilai-nilai dari pendiri.
September 1989. Saya masuk gedung lantasi dasar Kompas-Gramedia. Bentuk fisiknya samasekali tidak menarik. Seperti bunker.
Ketika itu, saya Redaktur majalah Mingguan Hidup. Yang berkantor di dua tempat. Administrasi Keuangan di samping Katedral. Sedangkan Redaksi di Jalan Kebon Jeruk, rumah ke-2, dari kiri lampu merah Batusari. Tempat metromini biasanya mangkal dan jalur mikrolet M-11 lewat.
Saya ditelepon. Agar ke Palmerah. Kata salah seorang petinggi Penerbit Gramedia untuk “Main-main saja”.
Begitu tiba, obrolan pun mengemuka.
Saya dipersilakan duduk. Di depan, ada PC. Membukanya, ketika itu, dengan disket Dos.
Dipersilakan menghidupkan PC. Lalu diminta membuat tulisan.
“Besok datang lagi, ya?” kata salah seorang petinggi Kompas-Gramedia itu. Saya telah membaca tulisanmu. “
“Lha, mengapa?” bertanya saya. Heran.
“Tadi kan sudah bekerja!” selanya.
Saya heran.
Singkat cerita. Itulah hari pertama saya menjadi Insan Kompas-Gramedia. Saya ingat persis tanggal, bulan, dan tahunnya: 30-11-1989.
Selama sebulan, saya bekerja di dua kantor. Namun, tak sekali pun membuat surat lamaran. Surat lamaran pekerjaan, saya buat dua minggu kemudian. Itu pun yang minta HRD. “Untuk arsip,” katanya.
***
POIN saya bukan pada bagaimana awal mula menjadi insan Kompas-Gramedia (KG). Melainkan pada nilai-nilai. Yang disemai pendirinya.
Ketika karyawan trainer, kami ditempa habis. Saya masih menyimpan semacam poin-poin nilai itu. Langsung diberikan Alfons Taryadi. Salah seorang pendiri penerbit Gramedia dan wartawan Kompas senior. Ketika itu, Alfons Direktur Penerbit Gramedia.
Saya juga langsung menerima “pengajaran” dari Jakob Oetama. Terutama ketika ada acara, pidatonya luar biasa. Tatkala kami launching buku, Pak Jakob senantiasa bicara. Narasinya tentang keIndonesiaan, bagi saya, sungguh orisinal.
“Kompas-Gramedia adalah Indonesia mini,” ini salah satu proposisi dari Pak Jakob, yang saya senantiasa ingat.
“Kita ini, Kompas Gramedia, kapitalisme ke luar, sosialisme ke dalam.”
Dan berbagailah sukubangsa di Kompas Gramedia. Ketika saya sedang jaya-jayanya (200-2007) dan pernah menjabat Managing Editor di salah satu unit usaha, karyawan KG mencapai 18.000. Jumlah unit usaha (PT) 300. Dengan aset 45 triliun.
Bukan itu poin saya. Konglomerasi KG. Saya tak tertarik sama sekali!
Yang saya tertarik adalah mental-spritual saya ditempa di Kompas Gramedia. Terutama kami, generasi pertama dan kedua, yang langsung dididik oleh pendiri. Kurang lebih: watak dan kadar kebangsaan kami: sama.
Pepih Nugraha, salah seorang pendiri Kompasiana dan rekan di Borneopedia. Adalah saudara saya satu perguruan. Saya pensiun dini sejak 2013. Saya menggodanya agar juga pensiun dini.
Mengapa? Sebab nilai-nilai, rasa-rasanya, sudah mulai luntur, ketika itu. Visi generasi kedua yang memegang bahtera perusahaan, orientasinya semata bisnis.
Kami dulu kekeluargaan. Uang makan sama. Dari tukang sapu hingga direktur utama. Ada kebersamaan. Ada belarasa. Ada uang payung, di bulan er er yang penghujan.
Jakob-Ojong membangun bukan konglomerasi Kompas-Gramedia. Tapi keIndonesiaan.
Saya terkenang kedua orang luarbiasa. Saya juga terkenang Frans Seda, yang kerap datang ke Palmerah ketika itu.
Mereka, agaknya, terinspirasi. Sekaligus termakan asupan I. Kasimo “Jadilah 100% Katolik dan 100% Indonesia.”
Apa artinya?
Alam dan suasana Kompas-Gramedia adalah Indonesia.
Buktinya, ada saya, orang Dayak. Sebagai warna pelangi penyangga kompeni yang tercatat merajai dunia penerbitan dan membangun literasi Asia Tenggara.