Awal abad ke-18, orang-orang Hakka, dengan rakit bambu, mendarat di tepian Sungai Kapuas yang mereka namakan: Sîang-ngau (Sanggau). Dipimpin oleh Ben Teng Thua, mereka menghadapi arus Pancur Aji yang ganas, memulai kisah luar biasa tentang keberanian dan harmoni. Mereka mendarat di tepian Kapuas, suatu lokus tiada penghuni ketika itu, mendirikan kemah yang kini menjadi Vihara Tridharma, terletak di Jalan Kartini, Sanggau.
Migrasi besar-besaran orang Hakka ke Borneo Barat dipicu oleh konflik di Tiongkok, termasuk perang saudara antara Tjiang Kai Sjek dan Mao Tse Tung. Dalam perjalanan sejarah, tokoh-tokoh Hakka di Sanggau seperti Ben Teng Thua, Kwee Seng Ong, Liu Shan, Tong Guan, Loh Tian Hui, Acin, Alin, Akim, Ben Theng, Among, dan Kitono hidup berdampingan dengan tokoh lokal seperti Daranante, Babai Cinga, Lampon, Macan Luar, Macan Gaing, dan Panglima Kumbang, menenun kisah penuh konflik, adaptasi, dan kebijaksanaan.
Namun, peristiwa tragis 1967 yang dipicu oleh Peraturan Pemerintah atau PP No. 10 Tahun 1959 dan Instruksi Presiden No. 14/1967 memaksa etnis Tionghoa, termasuk Hakka di Sanggau, meninggalkan pedalaman. Dayak, yang awalnya dijadikan alat, akhirnya juga menjadi korban.
Novel sejarah hasil riset, bercatatan kaki oleh penulis senior Masri Sareb Putra, ini mengungkap apa yang tak terungkap, menyajikan narasi berlapis yang menjadi bahan perenungan bersama: historia vero testis temporum—sejarah adalah saksi zaman.
Reviews
There are no reviews yet.