Mgr. Dr. Valentinus Saeng – Congregatio Passionis (CP): Filsuf yang jadi Uskup

Roma locuta causa finita.  Roma berkata, habis perkara!

Ungkapan yang amat sangat masyhur itu. Senantiasa terbukti. Demikianlah. Paus Fransiskus, di Vatikan, 18/06-2022. Bersamaan waktunya dengan pengumuman sama di katedral Sanggau oleh uskup Mgr. Julius Mencucicni.

Lelaki kelahiran Fosasesia, Italia dengan logat medhok khas itu mengumumkan siapa penerus baculum – tongkat gembala yang dipegangnya sejak 1989.

Sukacita penuh haru. Diiringi butiir air mata bahagia. Tampak mengiringi sang monsinyur penyuka dan pelantun lagu “Bujangan” Koes Plus itu ketika mengumumkan berita uskup baru.

Mgr. Julius pun memetik. Kemudian membaca bulla — besluit, surat keputusan dari Paus. Paus Fransiskus berkenan mengangkat seorang uskup baru dari tanah lahir negerinya sendiri. Menggantikan dirinya yang memasuki usia emas, 75 tahun. Julius masuk tahap uskup emeritus. Setelah menggembalakan kawanan umatnya yang di negeri Pancasila terbilang mayoritas warna Katoliknya.

Bukti. Bahwa Dayak dapat menjadi apa pun. Termasuk uskup. Pemimpin Gereja lokal. Suatu empiris juga. Bahwa Gereja Indonesia mandiri. Termasuk dalam hal tenaga sumber daya.

***

Saya mengenal baik uskup baru. Orangnya ugahari.
Ketika akan mendirikan Institut Teknologi Keling Kumang Sekadau, kami satu forum diskusi. Pastor Saeng salah satu pemantik diskusi. Yang kemudian memang menghasilkan buah.

Semenjak itu. Kami terlibat banyak diskusi. Olah pikir intelektual. Sampailah pada mimpi menulis, dan membukukan, filsafat Dayak.

Waktu saya launching dan bedah buku 101 Tokoh Dayak Jilid 3, pas Romo Saeng sedang di Pontianak. Ia salah satu pembahas buku itu, di Ruai TV. Bukan karena ia ada di sana dalam 101 senarai, namun ia suka topik itu. Ia ikut acara itu. Sampai tuntas.

***

Saeng aktif bermedia sosial. Ia kerap menangapi isu di Fb saya. Ia tidak anti sawit. Suatu hari, saya posting sawit. “Masih di tanah, tapi kok buahnya besar dan banyak. Apa nama varietasnya? Bisa kirim bibitnya untuk saudara saya, di Sekadau?” ia bertanya.

Saya haikul yakin. Sang doktor, meski dosen di STFT Malang, banyak membaca bukan hanya khasanah filsafat. Tapi juga buku mengenai sejarah Gereja. Mengapa dugaan saya begitu? Ia nyambung diskusi dengan saya.

Tatkala, saya paparkan. Sawit dijadikan oleh Boelaars sebagai contoh. Bahwa produk asing (impor) bisa jadi produk lokal yang memberi nilai tambah dan penghidupan bagi semua kaum.

Narasi itu ada dalam buku Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Dengan memberi gambar sebatang biang pohon sawit tua. Yang tiba di Nusantara pada 1848. Dibawa oleh seorang cendekiawan bernama Dr. Johannes Elias Teijsmann dari Royal Botanical Gardens di Pamplemousses di Pulau Mauritius, Afrika Barat, suatu kawasan sekitar Teluk Guinea. Kini sawit kurus tinggi menjulang. Masih tegak berdiri di Buitenzorg, Kebun Raya Bogor.

***

Kita semua mafhum. Bahkan, pengakuan datang dari Pdt. Gilbert Lumoindang. Saya dengar dengan daun telinga sendiri.

“Katolik kuat pendidikan filsafatnya. Namun, kadang dengan nalar bisa sedikit mengaburkan pandangan mata iman mengenai mukjizat.”

Demikian pendeta-seleb, Gilbert Lumoindong berkata. Telinga saya saksinya.

Memang begitu jika dilihat sekilat. Tapi menurut pengalaman filsuf Dayak dari Mualang ini, ada terminologi: Philosophia ancilla theologiae (Die Philosophie ist die Magd der Theologie).

Filsafat diperlukan. Justru untuk menjelaskan (fenomena) dan pengalaman teologis. Credo ut intelligam dalam iman. Percaya dahulu, mengerti kemudian. Jadi, beda akal dan iman terletak pada: iman mendahului pembuktian; sedangkan akal sebaliknya: pembuktian dulu, baru percaya.

Valentinus Saeng seorang Dayak Mualang, Kalimantan Barat. Lahir 28 Oktober 1969 di Keramuk, pedalaman Kalbar. Ia masuk seminari tinggi dalam ikatan tarekat Passionis. Ia menuntaskan pendidikan seminari tinggi di Malang. Kemudian, ditugaskan studi S-3 Filsafat di Pontificia Studiorum Universitas A S. Thoma AQ. In Urbe, (University of St. Thomas Aquinas – Angelicum), Roma, Italia. Ia lulus dan meraih gelar Ph.D. pada 2008. Menguasai bahasa Itali, Jerman, Prancis, dan Latin; filsuf-teolog kita ini kerap terbang melanglang negara menjadi narasumber seputar topik dan peristiwa terkini dari sudut pandang ilmunya.

Ia menjadi narasumber di berbagai negara. Malaysia apalagi. Bukunya yang boleh disebut penting dan berkelas, diterbitkan Gramedia, tentang Herbert Marcuse.

Buku yang mencelikkan kita semua ini pada intinya membahas Kapitalisme sebagai ideologi besar yang menguasai dunia pemikiran dan dunia ekonomi selama berabad-abad. Dominasi yang sistematis, kontinyu dan terstruktur membuat kapitalisme menjadi penguasa tunggal dan menggiring masyarakat dan manusia menjadi satu dimensi. Manusia menjadi terasing dari diri sendiri, produk dan sesama. Buku ini membantu siapa saja untuk mengerti dengan baik wajah kapitalisme dari sudut pandang teori kritis Mazab Frankfurt, terutama pemikiran kritis Herbert Marcuse.

Dapat dijelajah di jagad maya, melalui e-book, maupun edisi analognya di gerai-gerai toko buku terutama Gramedia, di Nusantara. Dalam dunia penerbitan sejagad, ia masuk senarai bacaan yang mencerahkan. Masuk bilangan “Good Read”, dengan rating mendekati batas tebing kanan.

Sehari-hari. Saeng staf pengajar pada Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, Malang. Sembari dosen. Ia juga memberi berbagai kursus, retreat, pendampingan, dan pendalaman iman.

Ia juga pernah mengikuti pendidikan reguler Lemhannas selama setahun di Jakarta pada 2013. Semua pengalaman, pengetahuan, dan pembelajaran dalam dan luar negeri yang diperoleh, membuatnya dapat disimpul dalam dua patah kata: Katolik Indonesia. Keduanya setimbang, 100%.

***

Perkara siapa pengganti uskup Julius yang memasuki usia emas, terjawab sudah. Bagi orang Katolik, siapa pun uskupnya, tidak masalah. Gereja universal. Apalagi, Mgr. Saeng putra asli Keuskupan Sanggau, pasti berterima. Di mana mayoritas penduduk dan umatnya, Dayak-Katolik.

Ketaatan pada pimpinan (Gereja) menjadi ciri khas Katolik.  Kita tunggu tanggal pentahbisan sang gembala utama Keuskupan Sanggau. Yang pastinya, penuh dengan harapan mengenai masa depan. Meski seiring dengan itu, semakin pelik permasalahan (umat dan masyarakat).

Namun, akal-budi dan nurani –seperti dipelajari dan dipraktikkan sang monsinyur sejak usia muda– akan menuntun para domba ke sumber air yang tenang. Dan pastinya sumber air itu, tiada akan berkesudahan.

Nemo dat quod non habet — orang tidak bisa memberi apa yang tidak dimilikinya. Mgr. Saeng telah punya banyak. Ia siap berbagi, dengan siapa saja. Dan memberi. Bukan hanya barang, benda fisik. Tapi juga: diri-sendiri. Seperti teladan Sang Guru. Yang ia ikuti secara berkanjang. Melalui spirit, atau jalan “sengsara”, passio. Kongregasi tempat ia mengikat kaul. Untuk mendarmabaktikan diri. Seumur hidup.

Selamat bertugas. Menggembala. Dan melayani.

Audite episcopo tuo!
Wahai umat. Condongkan senantiasa telinga pada Uskupmu!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *